Jika KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur masih hidup ketika komunitas stand up comedy sudah mulai bermunculan di Indonesia, bisa jadi beliau adalah juara sekaligus pionir dari jenis kesenian baru ini.
Lha gimana? Jauh sebelum Pandji Pragiwaksono atau Raditya Dika stand up dari kafe ke kafe di Jakarta, Gus Dur udah stand up di gedung DPR RI, di pengajian, di hadapan tamu-tamu negara asing, bahkan di Gedung Putih. Gedung Putiiiih, Coooy. Tempat ngantornya Barrack Obama atau Bill Clinton.

Dari sana kemudian Gus Dur dikenal sebagai sosok yang paling banyak dijadikan tokoh dalam cerita-cerita lucu di Indonesia. Saking banyaknya versi cerita kocak tentang beliau, bahkan sudah rada-rada mirip kayak cerita rakyat atau legenda.
Tumbuh dalam dunia pesantren, kuliah di luar negeri (meski nggak ada yang lulus), memimpin organisasi Islam terbesar, sekaligus pernah jadi orang nomor satu di Republik ini cerita lucu Gus Dur terbukti menembus sekat kultur sosial di Indonesia.

Guyonan perilaku beragama ada, guyonan kebahasaan ada, guyonan pejabat negara ada, bahkan guyonan antar pemimpin negara pun ada. Komplet. Ibarat gado-gado, cerita lucu Gus Dur itu manis, asam, dan kadang ada rasa-rasa pedasnya dikit.
Hanya saja, saking banyaknya kisah lucu beliau, kadang-kadang sampai sulit mana yang beneran kisah itu dialami Gus Dur sendiri atau cuma kisah lucu yang diceritakan beliau. Bahkan kadang ada juga guyon-guyonan yang tidak melibatkan Gus Dur secara langsung, namun cuma kejadian lucu yang mencatut namanya saja.
Lewat penelusuran singkat, akhirnya Mojok Institute berani mendedah bagaimana guyonan atau cerita lucu Gus Dur ini bisa dibagi menjadi tiga jenis. Dan ketiganya dibagi dengan klasifikasi berikut ini.

1. Cerita Lucu Gus Dur yang dialami sendiri

Jenis cerita guyonan ini biasanya dikenal karena Gus Dur pernah cerita sendiri. Entah ketika pengajian atau cerita santai bersama keluarga atau orang terdekat, lalu oleh keluarga diceritakan ulang ke orang lain. Atau bisa juga dari hal-hal yang ada dalam buku Biografi Gus Dur karya Greg Barton.
Seperti cerita Gus Dur saat masih jadi Presiden, lalu mendapat surat dari Kerajaan Arab Saudi usai kunjungannya ke Riyadh. Surat tersebut datang karena sebelumnya Gus Dur sempat melemparkan guyonan yang lumayan parah ke Raja Fahd, Raja Arab saat itu.
“Baginda, jangan percaya sama Bahasa Arabnya jamaah haji Indonesia,” kata Gus Dur, tentu dengan bahasa Arab.
“Lho, kenapa?” tanya Raja Fahd.
“Mereka pakai bahasa Arab kuno yang ada di kitab-kitab lama, sedangkan Anda sudah pakai Bahasa Arab modern,” kata Gus Dur.
“Oh iya? Contohnya apa?” tanya Raja Fahd.
Gus Dur lalu cerita ke Raja Fahd, dulu ada seorang Kiai dari Indonesia yang pergi haji. Di jalan si Kiai melihat ada tanda bertuliskan mamnu’uddukhul yang sebenarnya ada terjemahan bahasa Inggris di bawahnya: no entry. Dilarang masuk.
Masalahnya, makna dukhul di kitab-kitab lama itu lebih sering dimaknai sebagai hubungan seksual suami dan istri. Dalam bayangan si Kiai ketika membaca tanda itu yang muncul di kepalanya tentu saja: “Dilarang Berhubungan Seksual.”
“Wah, orang sini (Arab) memang keterlaluan. Masa ‘begituan’ kok di jalan. Sampai ada peringatannya segala,” kata Kiai-nya.
Mendengar cerita itu Raja Fahd tertawa terpingkal-pingkal. Usai kembali ke Jakarta, Gus Dur dapat surat dari Kerajaan Arab. Isinya?
“Terima kasih, Anda telah membuat Raja kami membuka mulutnya (tertawa). Sebab semenjak jadi Raja, (beliau) tak pernah tertawa.”

2. Cerita Lucu Gus Dur yang menceritakan kisah orang lain

Jenis cerita lucu Gus Dur berikutnya adalah menceritakan kisah orang lain. Jenis guyonan ini muncul persis seperti kisah yang diceritakan Gus Dur di hadapan Raja Fahd tadi. Jadi bisa dibilang, kisah ini tidak dialami Gus Dur sendiri, tapi karena Gus Dur melihat, mendengar, atau mungkin pernah membaca kisah ini.
Seperti ketika Gus Dur bercerita tentang seorang santri yang belajar ngaji ke gurunya. Saat itu si santri sedang membaca surat Quraisy. Si santri kebetulan belum mengerti ilmu wakaf (menghentikan bacaan).
Jika biasanya bacaan ayat pertama surat Quraiys itu dibaca li’ilafiquraisyin, ilaafihim rikhlatasy-syita’iwas-shoiif. Di kata terakhir harusnya dibaca was-shoiif, tapi karena si santri cuma ngikutin tulisan arabnya وَالصَّيْفِۚ si santri ini membacanya tetap was-shoiifi.
Sama si guru ngaji lalu dibentak, “Dibaca shoiif bukan shoiifi.”
Si santri baca lagi dari awal, begitu sampai akhir—karena sudah refleks—masih saja menyebut, “…iwas-shoiifi.” Masih ada “i”-nya di belakang.
“Ulangi lagi,” kata guru ngajinya.
Si santri baca lagi dari awal, begitu sampai akhir, “iwas-shoiif…
Clep.
Dipegang itu mulut si santri oleh guru ngajinya biar nggak keluar lagi suara “i” di akhiran ayat.
“Nah, begini. Begini yang bener bacanya. Jangan shoiifi tapi shoiif,” kata si guru ngaji.
Si santri cuma ngangguk. Si guru ngaji tersenyum. Senang karena anak didiknya paham. Guru ngaji lalu melepas tangannya.
Begitu dilepas, mulut si santri tiba-tiba berkata, “fi.”

3. Cerita soal Gus Dur yang diceritakan orang lain tapi diragukan kebenarannya

Di beberapa cerita lucu soal Gus Dur ada juga cerita-cerita yang cukup diragukan kebenarannya. Hal ini bisa terjadi karena saking banyaknya cerita lucu soal Gus Dur. Biasanya, beberapa cerita yang pernah diceritakan Gus Dur ke orang lain, sering beralih jadi sosok Gus Dur sendiri yang mengalami.
Seperti kisah soal Kiai saat mengomentari plang di Arab atau soal santri yang belajar ngaji tadi, kadang-kadang redaksi cerita bisa sedikit berbeda. Tiba-tiba saja sosok Gus Dur yang menjadi tokoh si-kiai atau si-santri yang salah baca itu. Padahal jejak awalnya, Gus Dur cuma menceritakan.
Di sisi lain, ada juga cerita lucu Gus Dur yang patut diragukan kebenarannya karena jalan ceritanya yang kurang masuk akal. Meski ya tetap saja lucu. Seperti kisah saat Gus Dur masih jadi Presiden sedang bertemu dengan Presiden Amerika dan Perdana Menteri Jepang.
Kebetulan pertemuan ketiga pemimpin negara ini dilakukan di atas kapal induk Amerika yang besar. Ceritanya ketiga negara ini sedang pamer kekuatan militer masing-masing.
“Prajurit Amerika itu prajurit yang paling berani di dunia. Mereka bisa mengelilingi kapal induk ini sekali putaran, meski di bawah kita ini banyak ikan hiunya,” kata Presiden Amerika pamer.
“Ah, mana coba, nggak percaya,” kata Gus Dur, Presiden Indonesia.
Si Presiden Amerika lalu memerintahkan prajuritnya untuk terjun dari kapal. Si prajurit Amerika benar-benar mengitari kapal induk sambil menghindari kejaran hiu satu putaran.
Melihat itu, Perdana Menteri Jepang tak mau kalah. “Oh, prajurit Jepang tak kalah berani. Kami kan terkenal dengan kamikazenya. Jadi jelas prajurit kami adalah yang paling berani sedunia. Mereka bisa kelilingi kapal induk ini 10 kali dengan ikan hiu di bawahnya,” kata Perdana Menteri Jepang.
Sebelum diminta, prajurit Jepang sudah terjun dan mengitari kapal induk itu sebanyak 10 kali putaran. Perdana Menteri Jepang pun bangga.
“Halah, cuma kayak gitu kok dibilang paling berani sedunia,” kata Gus Dur tiba-tiba.
Merasa jengkel, Presiden Amerika dan Perdana Menteri Jepang sedikit emosi.
“Memang apa yang bisa dilakukan Prajurit Indonesia?” kata Perdana Menteri Jepang menantang.
“Gini ya, prajurit di Indonesia bisa mengitari kapal induk ini sebanyak 100 kali dengan hiu di bawahnya,” kata Gus Dur sesumbar.
Tentu saja muka Presiden Amerika dan Perdana Menteri Jepang langsung pucat pasi, “Wah, hebat sekali,” kata mereka refleks.
Lalu Gus Dur pun meminta prajurit di belakangnya untuk segera membuktikan keberaniannya.
Tiba-tiba, “Gila aja, Gus. Muterin kapal induk 100 kali ya bisa mati saya. Nggak mau saya, enak aja,” kata si prajurit langsung meninggalkan Gus Dur begitu saja.
Presiden Amerika dan Perdana Menteri Jepang bingung melihat pemandangan itu.
“Tuh, kan? Apa saya bilang? Mana ada yang lebih berani ketimbang Prajurit Indonesia?



4.CERITA LUCU GUSDUR TENTANG Presiden Soeharto ikut NU Baru.



Suatu hari di Bulan Ramadan, Gus Dur menyambangi kediaman Presiden Soeharto untuk berbuka puasa bersama. Dirinya hadir ditemani Kiai Asrowi. Usai berbuka dan salat maghrib, Gus Dur akan pergi ke tempat lain dan melewatkan waktu salat tarawih bersama. Pak Harto pun meminta kepada Gus Dur agar Kiai Asrowi tetap tinggal untuk memimpin salat tarawih bersama.

Gus Dur pun mengiyakan permintaan Pak Harto tersebut. Namun, menurut Gus Dur sang Kiai harus diberi penjelasan dulu apakah salat tarawih akan dilaksanakan dengan cara NU Lama atau NU Baru. Pak Harto pun bingung karena dirinya tak mengetahui perbedaan antara NU Lama dan NU Baru. Soeharto kemudian bertanya kepada Gus Dur, "Memang kalau NU Lama gimana?" Gus Dur menjawab, "Kalau NU Lama, tarawih dan witirnya itu 23 rakaat."

Pak Harto kembali bertanya, "Kalau NU Baru?" Dengan santainya Gus Dur menjawab, "Kalau NU Baru diskon 60 persen, jadi tarawih sama witirnya cuma tinggal 11 rakaat." Gus Dur memang paling bisa deh.